PERAN
TOKOH NASIONAL DALAM MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Ir. SOEKARNO
Soekarno
lahir dengan nama Kusno yang diberikan oleh orangtuanya. Akan tetapi, karena ia
sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno
oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah
Bharata Yudha yaitu Karna. Nama “Karna” menjadi “Karno”
karena dalam bahasa Jawa huruf “a” berubah menjadi “o”
sedangkan awalan “su” memiliki arti “baik”.
Di kemudian
hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri
menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah
(Belkalian). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tkalian tangannya karena
tkalian tangan tersebut adalah tkalian tangan yang tercantum dalam Teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak
mudah untuk mengubah tkalian tangan setelah berumur 50 tahun. Sebutan akrab
untuk Soekarno adalah Bung Karno.
Di beberapa
negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini
terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat,
sejumlah wartawan bertanya-tanya, “Siapa nama kecil Soekarno?” karena
mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya
menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga.
Soekarno
menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[9]
Dalam beberapa versi lain,disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama
Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang
melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan
negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Dalam buku
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dijelaskan bahwa namanya hanya “Sukarno”
saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki
nama yang terdiri satu kata. Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang
bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.
Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan
di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan
bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri
beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini
sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno inggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung
Agung, Jawa Timur.
Ia
bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto,
mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya
memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.
Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School
(ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS).
Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil
melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas
bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto
bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di
Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam,
organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso,
Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam
kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai
organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong
Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di
harian “Oetoesan Hindia” yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Soekarno untuk pertama kalinya menjadi
terkenal ketika dia menjadi anggota Jong Java cabang Surabaya pada tahun 1915.
Bagi Soekarno sifatorganisasi tersebut yang Jawa
sentris dan hanya memikirkan kebudayaan
saja merupakan tantangan tersendiri. Dalam
rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang Surabaya Soekarno
menggemparkan sidang dengan berpidato menggunakan bahasa Jawa ngoko (kasar). Sebulan
kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan menganjurkan agar
surat kabar Jong Java diterbitkan
dalam bahasa
Melayu saja, dan bukan dalam bahasa Belkalian.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemeene
Studie Club (ASC) di
Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh
Dr.
Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang
didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap
Belkalian pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta dan esoknya
dipindahkan ke Bandung, untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy. Pada tahun 1930
ia dipindahkan ke Sukamiskin dan di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember
1930 ia membacakan pledoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat, hingga
dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung
dengan Partai Indonesia
(Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada
bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir
dilupakan
oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat
dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad
Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno
diasingkan ke Provinsi
Bengkulu, ia baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942–1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memerhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk
“mengamankan” keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada
Gerakan 3A
dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan
Jepang memerhatikan dan
sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad
Hatta, dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga
untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi
seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh
tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, dan
lainlainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh
nasional
bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah
seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah
fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato
pembukaan menjelang pembacaan
teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerja
sama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengkalianlkan
kekuatan sendiri. Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di
antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945, dan dasar dasar
pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok.