PERLAWANAN
TERHADAP BELANDA
PERLAWANAN PATTIMURA
Karena persatuan dan kesatuan rakyat Maluku maka
Portugis dapat didesak dan bahkan diusir dari Ternate pada tahun 1575. Orang-orang
Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon. Pada tahun 1605 VOC
datang dan mengusir portugis dari Ambon, sehingga Portugis terusir ke Timor
Timur dan kemudian menetap di Timor Timur. Dengan keluarnya Portugis dari Timor
Timur secara otomatis Maluku dikuasai oleh VOC. Sejak VOC berkuasa di Maluku
rakyat menjadi sengsara, muncullah keinginan untuk melawan kepada VOC. Secara
umum penyebab terjadinya perlawanan rakyat Maluku ini adalah karena adanya beberapa
faktor seperti:
·
adanya
desas-desus bahwa jumlah guru akan dikurangi untuk penghematan;
·
Upah
kerja yang tidak pernah dibayar;
·
keharusan membuat garam dan ikan tanpa diupah;
·
tindakan
sewenang-wenang residen terhadap rakyat Saparua;
· adanya
isu belanda akan mengumpulkan para pemuda untuk dijadikan tentara di luar
Maluku.
Nah berawal dari masalah diatas seorang yang gagah
berani bernama Thomas Matulessi yang terkenal dengan nama Kapten Pattimura
memimpin perlawanan dan dibantu Anthony Ribok, Philip Latumahina, Ulupaha,
Paulus Tiahahu, dan seorang pejuang wanita Christina Martha Tiahahu bersama rakyat
Maluku melakukan perlawanan pada tahun 1817.
Mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua
sehingga residen Van den Berg tewas. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau
lain yaitu Hitu, Nusalaut dan Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.
Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon
dibawah pimpinan Mayor Beetjes namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan
Mayor Beetjes tewas. Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara
besar-besaran dan melakukan sergapan pada malam hari Pattimura dan
kawan-kawannya tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung pada bulan Desember
1817 di Ambon. Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di
Nusalaut. Christina Martha Tiahahu dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia
tutup mulut dan mogok makan yang menyebabkan sakit dan meninggal dunia dalam
pelayaran pada awal Januari.
PERLAWANAN
PANGERAN DIPONEGORO
Perang Diponegoro atau bisa disebut juga Perang Jawa merupakan perang besar
yang pernah terjadi di Nusantara antara penjajah Belanda dan pasukan yang dipimpin
oleh Pangeran Diponegoro. Belanda menyebut perang ini sebagai Perang Jawa
karena terjadi di Tanah Jawa, khususnya Yogyakarta. Sedangkan, di Indonesia kita
lebih akrab dengan sebutan Perang Diponegoro, karena Diponegoro merupakan tokoh
sentral dalam perang ini. Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun telah
menelan korban tewas di pihak tentara Belanda sebanyak orang (8.000 orang tentara
Eropa dan orang pribumi), sedangkan di pihak Diponegoro sedikitnya orang tewas.
Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang (sesama) saudara antara
orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang antiDiponegoro
(antek Belanda)
Perang Diponegoro berawal dari kekecewaan Pangeran Diponegoro atas campur
tangan Belanda terhadap istana dan tanah tumpah darahnya. Kekecewaan itu
memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggaktonggak
untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Dipimpin Pangeran
Diponegoro, rakyat Tegalrejo menyatakan perang melawan Belanda Diponegoro
dibantu oleh Pangeran Mangkubumi sebagai penasehat, Pangeran Ngabehi Jayakusuma
sebagai panglima, dan Sentot Ali Basyah Prawiradirja sebagai panglima perang.
Pangeran Diponegoro menyusun barisan dengan nama Perlawanan Rakyat terhadap
penjajah. Dalam barisan ini, perlawanan difokuskan pada gerakan rakyat agar
perjuangannya bersifat meluas dan lama. Bentuk perlawanan ini dipilih Diponegoro
untuk menghindari tuduhan Belanda bahwa ia hanya ingin merebut kekuasaan, meski
akhirnya tuduhan tersebut tetap dilanyangkan kepadanya.
Dalam perjuangan tersebut, Diponegoro menggunakan langkah jitu. Yakni dengan
menyerukan kepada rakyat Mataram untuk berjuang bersama-sama dalam menentang
Koloni yang dengan jelas menindas rakyat. Seruan kemudian disebarluaskan di
seluruh tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir
sebagian besar lapisan masyarakat. Akhirnya, daerah Selarong penuh sesak karena
dipenuhi oleh pasukan rakyat. Perang untuk menentang penguasa kolonial Belanda
meledak dan membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur
dan Jawa Barat. Akhirnya, peperangan pun tidak dapat dihindarkan. Pasukan
belanda kewalahan menghadapi pasukan Diponegoro selama bertahun-tahun lamanya.
Dalam beberapa pertempuran, pasukan Belanda selalu kalah. Hal ini membuat
pasukan Belanda dari Madura dan daerah-daerah lain berdatangan untuk membantu
pasukan di Yogyakarta yang sedang terserang. Akibatnya, pasukan Diponegoro banyak
yang menderita kekalahan dan gugur di medan perang. Pangeran Diponegoro jugaidukung
oleh para ulama dan bangsawan. Daerah-daerah lain di Jawa ikut berjuang melawan
Belanda. Kyai Mojo dari Surakarta mengobarkan Perang Sabil. Antara tahun pasukan
Diponegoro mampu mendesak pasukan Belanda.
Dalam menangani perlawanan Diponegoro tersebut, lagi-lagi Belanda menggunakan
siasat yang licik. Pada tahun 1827, Belanda mendatangkan bantuan dari Sumatra
dan Sulawesi. Jenderal De Kock menerapkan taktik perang benteng stelsel. Taktik
ini berhasil mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Banyak pemimpin
pasukan Pangeran Diponegoro gugur dan tertangkap. Namun demikian, pasukan
Diponegoro tetap gigih. Akhirnya, Belanda mengajak berunding. Dalam perundingan
yang diadakan tanggal 28 Maret 1830 di Magelang, Diponegoro disergap. Pada
posisi tidak siap perang, pangeran Diponegoro serta pengawalnya dengan mudahnya
di sergap, dilucuti dan dimasukkan ke dalam kendaraan khusus residen. Kendaraan
ini sudah terlebih dahulu disiapkan oleh pihak Belanda. Dengan pengawalan yang
ketat, pasukan Belanda kemudian membawa pangeran Diponegoro menuju Ungaran.
Diponegoro kemudian akan dibawa ke Batavia, sebelum itu dia dibawa terlebih
dahulu ke kota Semarang. Tepat pada tanggal 3 Mei tahun 1830, pangeran Diponegoro
dan stafnya dibawa ke daerah pembuangan, yaitu di Menado. Pangeran Diponegoro
beserta 19 orang termasuk keluarga dan stafnya juga ikut dibuang. Kemudian pada
tahun 1834 pangeran Diponegoro dan yang lainnya berpindah ke daerah pembuangan
lain, yaitu Makassar. Setelah menjalani masa tawanan selama 2 tahun, Pangeran
Diponegoro kemudian meninggal pada tanggal 8 Januari tahun 1855 tepatnya saat
berusia 70 tahun.